!
Glitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word Generator

PUASA



MARHABAN YA RAMADHAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan
sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang

berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang

juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi

penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa

sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan

"marhaban ya Ramadhan".


Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga",

sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.

Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak

seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan

selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat

yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1

kaki di) dataran rendah yang mudah."



Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau

"lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut

dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta

dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja

yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan

"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti

"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau

kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya

Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti

bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;

tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya

"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.



Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu,

karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh

guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.



Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,

itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar

yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis

yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah

tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan,

semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad

tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan

saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak

tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih

untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan

ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir

bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih

perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.



Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan

itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang

harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk

memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan

dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada

Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.

Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran

Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.



PUASA MENURUT AL-QURAN



Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,

kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.

Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya

adalah menahan diri untuk tidak bebicara:



Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari

ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia

pun (QS Maryam [19]: 26).



Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat

Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran

anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing

sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,

sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa

adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada

pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin

wash-shaimat.



Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari

akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa

maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak

bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.

Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa

pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian

kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,

sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,

minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar

hingga terbenamnya matahari".



Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan

kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini

mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan

pikiran dari melakukan segala macam dosa.



Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya

adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa

dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian

bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran

dan puasa.



Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa

untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh

banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.



Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang

disempurnakan pahalanya tanpa batas.



Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.



Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum

sebagaimana disinggung di atas.



1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.



2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau

semacamnya.



3. Puasa sunnah.



Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar

pada puasa bulan Ramadhan.



PUASA RAMADHAN



Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat

Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa

puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di

Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah

turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban

melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban

tahun kedua Hijrah.



Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama

sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran

yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-

perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat

dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat

(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai

tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari

kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang

dengan turunnya ayat 185:



Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri

tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka

hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa

yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya

berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.



Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan

terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada

ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis

lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa

Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil

bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah

sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi

tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa

sunnah tertentu.



Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan,

dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam

untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan

pun.



Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan

panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan

kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang

mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,

tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana

diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,

maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi

tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa

sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."



Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan

bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya

"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang

berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan

sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"

maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia

tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain.

"Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai

gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan

seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan

bahwa "berpuasa adalah baik."



Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan

bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk

berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa

orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa

dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa

sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa

Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk

kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir

dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi

tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya

dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia

tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an

Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena

itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada

hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."



Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan

hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang

lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya

fajar sampai terbenamnya matahari.



Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari

ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.

Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan

hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau

kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.



BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA



a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu

yang menderita sakit)



Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa

secara garis besar dapat dibagi dua:



1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia

wajib berbuka; dan



2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat

kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia

dianjurkan tidak berpuasa.



Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita

oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu

Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,

dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus

dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat

mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya

kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi

demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing

untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di

sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan

alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan

hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.



b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)



Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa

bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan

dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa

jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada

juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa

pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,

maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan

(rukhshah).



Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini.

Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur

keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya

jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang

dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat

dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau

tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin

ini.



Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan

yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak

shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam

kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,

silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan

mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya

alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan

berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk

perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak

memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.

Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat

kemudahan dari Allah Swt.?



Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang

musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i

menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang

mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan

Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada

masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka

itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh

sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin

Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di

bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak

berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga

(mereka) yang tidak berpuasa."



Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih

baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang

menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah

izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan

Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki

kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."



Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,

antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,

yaitu:



c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang

ditinggalkan itu pada hari-hari lain).



Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk

meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih

kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan

(dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)

sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang

lain."



Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh

ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang

membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban

mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang

yang sakit tetapi tidak berpuasa.



Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,

sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi

orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,

dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti

bunyi harfiah ayat di atas.



Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus

berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang

menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah

r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada

ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya

memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan

bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah

yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min

ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau

bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga

akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang

tercantum dalam Mushaf sekarang.



Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti

harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat

ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya

segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin,

namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun

diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau

Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat

menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?

Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping

berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan

seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan

kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di

atas.



PUASA (2/2)



d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu

miskin (Dan wajib bagi orang yang berat

menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi

makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).



Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama

tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt.

memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa

atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat

bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,

yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:

musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka

ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,

yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena

kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka

diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.



Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas

ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang

orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang

sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia

tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka

dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak

berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya

terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan

diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam

pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan

atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:



Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan

mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka

khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui.

Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka

berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus

membayar fidyah.



Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari

selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak

setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum

atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud

yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang

mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku

pada setiap masyarakat.



e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila

nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan

bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:

187)



Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari

bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,

hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian

hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa

pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau

pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa

hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat

menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.

Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium

istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun

selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka

puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi

mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar

kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang

hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi

adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,

maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka

ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.



Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus

mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi

sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu

yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada

waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.



f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith

al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan

dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan

benang hitam, yaitu fajar).



Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga

melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.



Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal

mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan

itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di

atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan

persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.

Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat

dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk).

Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu

mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan

azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena

itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut

saat imsak.



g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian

sempurnakanlah puasa itu sampai malam).



Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan

minum sampai dengan datangnya fajar.



Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan

datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para

ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam

dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah,

dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah

dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh

banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh

pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam".

Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang

berwarna hitam pun dinamai lail.



Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk

mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat

kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir

magrib sebenarnya belum masuk.



Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh

ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.



TUJUAN BERPUASA



Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang

hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau

la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut

agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.

misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak

memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan

dahaga."



Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan

tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya

bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan

kesulitan."



Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman,

"Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa.

Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."



Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.

Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan,

misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan

pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat

bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan,

siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau

minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah,

kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan

itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab

jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan

mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa,

melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain

penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna

hadis qudsi di atas.



Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan

manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut

belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya.

Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai

dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan

melakukannya karena Allah semata.



Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian

dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya

terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan

takwa.



PUASA DAN TAKWA



Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar,

menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah

secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah

dirimu dari Allah"



Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk.

Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau

menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun

kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat

untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang

semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti

perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.



Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.



a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap

hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam

raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat

menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri

dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas,

dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat

lainnya.



b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap

hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,

melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat

mengakibatkan siksa neraka.



Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman

Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala

yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.

Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau

takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada

mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia

timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."



Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan

kehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau

kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak,

menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah

hadis.



Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal

tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti

yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik.

Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia

meneladani Allah Swt.



PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH



Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia

meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia

sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi

akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).



Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan

yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum,

dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara

lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:



Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak

memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)



Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia

tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin

[72]: 3).



Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,



Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang

menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan

dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).



Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal

mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,

bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan

tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.



Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal

itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan

sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai

dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.

Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat,

Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat

mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya,

dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam

pengertian di atas dapat pula dicapai.



Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian

kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga--

sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw.

menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak

memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."



PUASA UMAT TERDAHULU



Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba

'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas

(umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para

ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam

prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini

berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah,

kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat,

dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada

Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam

agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat

berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.



Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi

umat islam dan umat-umat terdahulu?



Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah

aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan

berhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatang

tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga

kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau

musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi

memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan

atau menghindarkannya dari kebinasaan.



Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya

bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi

dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa

orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang

diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati

makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas

lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang

hari.



Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus

bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan

menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.



Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki

keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan

secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan

faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual--

akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.



Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan

atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh

manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan

pengendalian diri itulah esensi puasa.



Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau

miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau

masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh

umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh

Al-Quran.



Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan

salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi

pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush

shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa

yang mewajibkannya?



Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut

disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam

hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk

mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang

mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa,

dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi

berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini

dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran

agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan

bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh

setiap makhluk yang berakal?



Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku

mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan,

niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."



KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN



Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah

menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan

pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam

Qadar,



Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada

Lailat Al-Qadr.



Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu,

yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para

malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan,

dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.



Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa

dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang

mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada

hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa

pun yang dengan tulus berdoa.



Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang

keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada

keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal

itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "PUASA"

Posting Komentar

Template by:
SOFYAN

 

Naruto Rasengan Pictures, Images and Photos